Kota ini Kembang Api




Judul Buku : Kota ini Kembang Api
Penulis : Gratiagusti Chananya Rompas
Desainer sampul & ilustrasi : Adiputra Singgih
Tebal : 104 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan pertama : September 2016
ISBN : 978-602-03-3404-2


Mereview buku puisi itu susah susah gampang. Lebih banyak susah daripada gampangnya. Tapi rasanya sayang banget kalau saya ngga ngereview buku yang satu ini.

Pertama saya tahu buku ini eksis adalah melalui twitter. Kota ini Kembang Api, judulnya sederhana tapi memikat. Saya terus kepikiran, puisi macam apa yang kira kira ada di dalamnya. Mengapa Kembang Api? Ada apa dengan kota tersebut, dan pertanyaan pertanyaan lain makin membuat saya penasaran sampai memutuskan mengunduh buku ini di Scoop.



Ada puluhan judul puisi di buku ini, sebagian besar merupakan puisi yang singkat, habis dalam beberapa bait pendek namun juga ada puisi puisi yang berbait cukup panjang. Tema yang diambil hmm tidak semuanya tentang cinta sih, tapi kesan yang muncul setelah saya baca memang sebagian besar puisi puisinya romantis melankolis.

Sebuah puisi biasanya memiliki pilihan kata yang memikat. Pun demikian dalam buku ini. Ada beberapa kalimat yang terus terngiang ngiang di pikiran saya bahkan setelah saya selesai membaca halaman terakhirnya. Ada kalimat kalimat romantis ala pujangga yang membuat saya meleleh saat membacanya. Ugh. Ini salah satunya,

di atas : bintang bintang menyesakkan langit
di bawah : sejuta neon menyilaukan kota
di sini : hela nafasku menghampiri telinga

Saat membaca, saya juga menemukan unsur unik lainnya dalam puisi di buku ini, yaitu susunan atau bentuk puisi yang menarik. Yup, seperti yang kita tahu, bahwa seni dalam menulis puisi tak hanya terbatas dalam tema atau pilihan katanya melainkan juga mencakup bentuknya. Dengan bentuk yang unik ini, saya sebagai pembaca jadi lebih tertarik juga untuk membacanya. "Kesedihan yang Sangat Tua" dan "Mabuk Lampu" adalah contoh dua puisi yang punya keunikan dalam tipografinya. Pada puisi Mabuk Lampu, susunan kata katanya berulang dan berdempetan tanpa spasi disertai penulisannya yang jungkir balik sampai sampai kita harus membalikkan buku untuk dapat membaca kalimatnya. Ya meski saya juga ngga ngerti banget sih pesan apa yang dikandung oleh puisi itu. Mungkin saking banyaknya lampu serupa sampai ia mabuk melihatnya? Maklum, saya tak terlalu pintar dalam menangkap atau menerjemahkan pesan atau isi sebenarnya dari sebuah puisi. Karena itu saat membaca buku ini, saya ngga ambil pusing tentang isinya. 

Oh ada lagi, ilustrasi di buku ini amat cantik meski sederhana. Apalagi karena saya membaca dalam format ebook, maka ilustrasi ini juga berwarna. Yah, saya ngga tau sih kalau di buku cetaknya gimana, tapi yang pasti kalau ada warnanya tentu jauh lebih menarik, ya kan?

Setelah membaca puisi terakhir di buku ini, saya tergoda untuk membacanya berkali-kali lagi. Saya tergoda untuk jatuh dalam keheningan yang ditimbulkan dalam tiap puisinya. Setiap judul seakan memberikan magnet bagi saya untuk terus mencecapnya, kembali dan lagi. Saya merasakan perasaan rindu, haru, rasa kesepian sekaligus kehampaan yang muncul dalam puisi-puisinya. 

Terus saya jadi kangen nulis puisi...


Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Review] You Are My Moon

Wander Woman

Behind Closed Doors