Review Homeless Bird by Gloria Whelan
Judul : Homeless Bird
Pengarang : Gloria Whelan
Penerjemah : Ida Wajdi
Penyunting : Jia Effendie
Penerbit : Atria
Tebal : 182 Halaman
Cetakan I : September 2012
ISBN :978-979-024-504-4
India. Ketika mendengar negara itu disebut, apa yang ada dipikiran kalian?
Kalau saya jelas saja langsung mengingat film-film yang dibintangi oleh Shahrukh Khan dengan lagu-lagu dan tarian khas dari mereka. Namun ingatkah kalian dengan tokoh besar yang bernama Mahatma Gandhi? Dia salah satu pahlawan bagi negara India. Namun bukan tentang Gandhi yang diceritakan buku ini. Melainkan kawan dari Gandhi, yaitu Rabindranath Tagore.
Rabindranath Tagore lahir di Jorasanko, Kolkata, India, 7 Mei 1861 – meninggal 7 Agustus 1941 pada umur 80 tahun juga dikenal dengan nama Gurudev, adalah seorang Brahmo Samaj, penyair, dramawan,filsuf, seniman, musikus dan sastrawan Bengali. Ia terlahir dalam keluarga Brahmana Bengali, yaitu Brahmana yang tinggal di wilayah Bengali, daerah di anak benua India antara India dan Bangladesh.
Tagore merupakan orang Asia pertama yang mendapatanugerah Nobel dalam bidang sastra (1913). Tagore mulai menulis puisi sejak usia delapan tahun, ia menggunakan nama samaran “Bhanushingho” (Singa Matahari) untuk penerbitan karya puisinya yang pertama pada tahun 1877, dan menulis cerita pendek pertamanya pada usia enam belas tahun. Ia mengenyam pendidikan dasar di rumah (Home Schooling), dan tinggal di Shilaidaha, serta sering melakukan perjalanan panjang yang menjadikan ia seorang yang pragmatis dan tidak suka/patuh pada norma sosial dan adat. Rasa kecewa kepada British Raj membuat Tagore memberikan dukungan pada Gerakan Kemerdekaan India dan berteman dengan Mahatma Gandhi. Dan juga dikarenakan rasa kehilangan hampir segenap keluarganya, serta kurangnya penghargaan dari Benggala atas karya besarnya, Universitas Visva-Bharati.
[Baca selengkapnya di http://id.wikipedia.org/wiki/Rabindranath_Tagore]
Salah satu puisi Tagore yang berjudul Homeless Bird telah membuat Gloria Whelan si penulis buku ini terinspirasi untuk membuat sebuah kisah yang amat miris namun memberikan banyak energi untuk percaya pada harapan, yang diberi judul serupa dengan judul puisi tersebut, Homeless Bird.
Koly harus merasakan kelaparan, kebingungan dan sempat merasa putus asa. Ia ingin seperti janda-janda lain yang berdoa di kuil, namun bau dupa membuatnya tak bisa bertahan. Ia tetap mencoba menunggu, berharap ibu mertuanya merasa kasihan padanya dan kembali menjemputnya. Namun semuanya sia-sia. Koly harus menghadapi kebingungan itu sendiri, hingga ia bertemu Raji yang mengubah kehidupannya.
Siapa kah Raji?
Apa yang dilakukan Raji hingga membuat hidup Koly berubah?
Sedikit bocoran, di antara keduanya tumbuh benih-benih cinta loh.
Akankah mereka bisa bersatu mengingat menikahi seorang janda adalah aib? Temukan semuanya di buku ini :)
Membaca kisah Koly yang menikah muda membuat saya mengingat ibu saya sendiri. Beliau pernah bercerita kepada saya bahwa jaman dulu gadis-gadis dijodohkan bahkan sebelum mereka lulus Sekolah Dasar. Sama persis dengan kisah ini, bagi orangtua jaman dulu, pendidikan tidaklah penting. Yang terpenting adalah bagaimana mereka bisa menjadi istri yang baik, yang bisa mengurus rumah dan membesarkan anak-anak.
Koly tidak bisa membaca meski ayahnya seorang juru tulis. Namun semangatnya untuk belajar membaca sangat tinggi. Hingga ia dapat membaca buku kumpulan puisi karya Rabindranath Tagore yang ia tukar dengan antingnya yang berharga dari ibu mertuanya yang jahat.
Kisah Koly sangat inspiratif meski saya rasa konflik yang dibuat kurang mendalam. Seandainya kisah ini dilanjutkan. Saya penasaran dengan kehidupan yang dijalani Koly bersama Raji. Kisah mereka pasti akan sangat seru. Mengingat Koly yang seperti itu, dan Raji yang seperti itu.
Banyak tradisi India yang diceritakan di sini. Saya baru tahu kalau seorang anak perempuan yang sudah menikah akan menjadi aib bila mereka kembali kepada orangtua kandung mereka, walaupun telah menjadi janda. Banyak tempat-tempat di India yang digambarkan di sini. Dan di dua halaman terakhir, ada kamus Bahasa Hindi yang praktis untuk belajar Bahasa Hindi bagi pemula. Pokoknya buku ini bacaan yang ringan, memberi semangat dan menegaskan bahwa di dunia ini pasti ada seseorang yang mau menerima kita apa adanya.
Tagore merupakan orang Asia pertama yang mendapatanugerah Nobel dalam bidang sastra (1913). Tagore mulai menulis puisi sejak usia delapan tahun, ia menggunakan nama samaran “Bhanushingho” (Singa Matahari) untuk penerbitan karya puisinya yang pertama pada tahun 1877, dan menulis cerita pendek pertamanya pada usia enam belas tahun. Ia mengenyam pendidikan dasar di rumah (Home Schooling), dan tinggal di Shilaidaha, serta sering melakukan perjalanan panjang yang menjadikan ia seorang yang pragmatis dan tidak suka/patuh pada norma sosial dan adat. Rasa kecewa kepada British Raj membuat Tagore memberikan dukungan pada Gerakan Kemerdekaan India dan berteman dengan Mahatma Gandhi. Dan juga dikarenakan rasa kehilangan hampir segenap keluarganya, serta kurangnya penghargaan dari Benggala atas karya besarnya, Universitas Visva-Bharati.
[Baca selengkapnya di http://id.wikipedia.org/wiki/Rabindranath_Tagore]
Salah satu puisi Tagore yang berjudul Homeless Bird telah membuat Gloria Whelan si penulis buku ini terinspirasi untuk membuat sebuah kisah yang amat miris namun memberikan banyak energi untuk percaya pada harapan, yang diberi judul serupa dengan judul puisi tersebut, Homeless Bird.
Kisah ini menceritakan tentang seorang gadis bernama Koly berusia 13 tahun. Mempunyai Baap dan Maa, serta dua orang saudara laki-laki dengan kehidupan yang bisa dibilang jauh dari cukup. Ibunya sering kali berpuasa karena kekurangan makanan.
Mengingat usianya yang sudah pantas mendapatkan suami menurut tradisi India, maka orangtuanya mencarikannya seorang suami. Berbeda dengan tradisi Jawa, bagi bangsa India, pihak wanitalah yang harus membayar maskawin untuk pihak laki-lakinya. Untuk itu ayahnya yang hanya seorang juru tulis harus berusaha keras mendapatkan maskawin agar keluarga mempelai laki-laki mau menerima putrinya menjadi manantu mereka.
Namun sungguh diluar dugaan Koly, kedua mertuanya hanya mengharapkan uang maskawinnya untuk mengobatan Hari, suaminya yang ternyata sakit-sakitan. Uang itu dipakai untuk membiayai perjalanan Hari menuju Varanasi yaitu tempat dimana Sungai Gangga berada. Karena mereka percaya Sungai Gangga akan bisa menyembuhkan penyakit Hari.
Sungai Gangga
Setelah Hari meninggal, ibu mertuanya memperlakukannya dengan sangat buruk. Ia dipekerjakan seperti pembantu. Hingga suatu hari ia dibuang di Vrindavan, tempat bersejarah bagi dewa Khrisna yang biasa dipakai untuk membuang para janda yang telah kehilangan suami mereka. Di Vrindavan ada banyak sekali kuil dan biasanya ada banyak pula janda-janda yang berdoa berjam-jam hanya untuk mendapatkan upah makan.
Siapa kah Raji?
Apa yang dilakukan Raji hingga membuat hidup Koly berubah?
Sedikit bocoran, di antara keduanya tumbuh benih-benih cinta loh.
Akankah mereka bisa bersatu mengingat menikahi seorang janda adalah aib? Temukan semuanya di buku ini :)
Membaca kisah Koly yang menikah muda membuat saya mengingat ibu saya sendiri. Beliau pernah bercerita kepada saya bahwa jaman dulu gadis-gadis dijodohkan bahkan sebelum mereka lulus Sekolah Dasar. Sama persis dengan kisah ini, bagi orangtua jaman dulu, pendidikan tidaklah penting. Yang terpenting adalah bagaimana mereka bisa menjadi istri yang baik, yang bisa mengurus rumah dan membesarkan anak-anak.
Koly tidak bisa membaca meski ayahnya seorang juru tulis. Namun semangatnya untuk belajar membaca sangat tinggi. Hingga ia dapat membaca buku kumpulan puisi karya Rabindranath Tagore yang ia tukar dengan antingnya yang berharga dari ibu mertuanya yang jahat.
Kisah Koly sangat inspiratif meski saya rasa konflik yang dibuat kurang mendalam. Seandainya kisah ini dilanjutkan. Saya penasaran dengan kehidupan yang dijalani Koly bersama Raji. Kisah mereka pasti akan sangat seru. Mengingat Koly yang seperti itu, dan Raji yang seperti itu.
Banyak tradisi India yang diceritakan di sini. Saya baru tahu kalau seorang anak perempuan yang sudah menikah akan menjadi aib bila mereka kembali kepada orangtua kandung mereka, walaupun telah menjadi janda. Banyak tempat-tempat di India yang digambarkan di sini. Dan di dua halaman terakhir, ada kamus Bahasa Hindi yang praktis untuk belajar Bahasa Hindi bagi pemula. Pokoknya buku ini bacaan yang ringan, memberi semangat dan menegaskan bahwa di dunia ini pasti ada seseorang yang mau menerima kita apa adanya.
Komentar
Posting Komentar