Review : The Shallows, Internet Mendangkalkan Cara Berpikir Kita?

Penulis : Nicholas Carr
Penerjemah : Rudi Atmoko
Penyunting Naskah : Indradya SP
Proofreader : Suro Prapanca
Cetakan I : Juli 2011
Penerbit : PT. Mizan Pustaka
Tebal : 279 halaman


Tak dapat dipungkiri bahwa kehadiran internet memang menjadikan berbagai aktivitas kian mudah. Namun selain memudahkan, ternyata internet juga memiliki dampak lain yaitu dapat mempengaruhi cara berpikir kita. Dalam buku ini, Nicholas Carr mencoba menguak bahaya internet bagi otak serta pengaruhnya bagi kebiasaan membaca kita.

Terkadang sering kali kita menganggap remeh, berpura – pura bahwa internet tidaklah penting. Yang terpenting adalah bagaimana kita menggunakannya. Implementasinya, dengan pongah, adalah bahwa kita yang memegang kendali. Teknologi hanyalah alat yang tidak berdaya sampai kita menggunakannya, tidak berdaya lagi saat kita menyingkirkannya.

“Apa pun argumennya, harus diakui bahwa dewasa ini masyarakat dunia sedang berada dalam pertigaan kritis. Dengan segala keterpesonaannya terhadap gadget TIK, yang mengancam bukan saya daya kepemimpinan atas urusan – urusan, tetapi juga daya konsentrasi dalamnya yang berperan sentral dalam proses kreatif, manusia kini bisa mengarah kepada alam kedangkalan, budaya instan, autistik minimal.” (Hlm xi)

Mamang benar ungkapan Heather Pringle, seorang penulis di majalah Archaeology, yang mengatakan bahwa google merupakan anugerah. Namun, ada harga yang harus dibayar. Seperti yang diungkapkan McLuhan, “Media bukan hanya merupakan saluran informasi. Media menyediakan isi pikiran dan juga membentuk proses pikiran. Dan yang dilakukan internet adalah mengikis kemampuan saya berkonsentrasi dan merenung ... Dulu, saya adalah penyelam di lautan kata – kata. Kini, saya bergerak cepat di permukaannya seperti orang yang mengendarai jet ski.” (Hlm. 3)

Sedangkan Scott Karp berujar bahwa ia telah berhenti membaca buku sama sekali. “Di perguruan tinggi, saya mengambil jurusan sastra dan dulu saya seorang yang gila baca,” demikian tulisnya. “Apa yang terjadi?” Dia menebak-nebak jawabannya: “Bagaimana jika kebiasaan saya membaca di web tidak semata – mata karena berubahnya cara membaca saya, yakni saya hanya mencari kenyamanan, namun karena berubahnya cara BERPIKIR SAYA?” (Hlm. 3)

Dalam buku ini, Nicholas Carr mengusung konsep neurologis yang menjadi kinci argumen neuroplasticity atau kelenturan saraf otak.

“... seperti kata James Olds, profesor ilmu saraf yang menahkodai Krasnow Institute for Advanced Study di George Masin University, “sangat lentur”. Atau, seperti kata Merzenich, “teramat sangat lentur”. Kelenturannya berkurang saat kita bertambah tua––otak mandek dengan caranya sendiri–namun tidak pernah hilang.” (hlm. 24)

Intinya adalah otak manusia terus menerus berubah, menyesuaikan diri, termasuk pada perubahan kecil di dalam keadaan dan perilaku kita. Membentuk sebuah pola tertentu sesuai dengan kebiasaan yang sering kita lakukan.

“Teknologi yang kita gunakan untuk mencari, mengorganisir, menafsir, dan menyimpan informasi adalah termasuk hal paling mempengaruhi struktur otak kita . Semua teknologi yang dari waktu ke waktu telah mempengaruhi bagaimana kita menemukan, menyimpan, dan menerjemahkan informasi, bagaimana kita mengarahkan perhatian kita dan menggunakan indra kita, bagaimanak kita mengingat dan bagaimana kita lupa, telah membentuk struktur fisik dan cara kerja pikiran manusia.” (hlm. 48)

Salah satu dampak nyata penggunaan internet terhadap otak, menurut Carr, adalah kian sulitnya otak pengguna internet untuk fokus dan berkonsentrasi ketika membaca buku.
Pikiran Carr bukan tak mengandung kelemahan. Di antara kelemahan itu terletak pada asumsi yang mendasari analisis-analisis Carr yang mengatakan bahwa ketika orang menggunakan internet, ia akan larut, kehilangan kemampuan memilih dan pikiran kritisnya. Asumsi itu juga berbunyi bahwa di depan internet orang menjadi pasif dan dikuasai internet sedemikian rupa sehingga dirinya dibentuk oleh internet. Carr agaknya hendak menyamakan semua pengguna internet dengan dirinya yang seperti ia ceritakan––telah banyak berubah sejak ia menjadi ‘adiktif’ terhadap internet. Carr bahkan harus mengasingkan diri ke daerah dengan akses internet yang sangat terbatas agar bisa fokus dan tuntas menulis buku The Shallows ini.

Namun begitu, paling tidak buku ini sudah menjadi peringatan bagi kita untuk lebih berhati-hati agar kita tidak menjadi adiktif dan obsesif terhadap internet. Serta lebih waspada terhadap kedatangan alam kedangkalan, budaya instan, atau pun autistik minimal. Menjadi manusia yang lebih cerdas di tengah terjagan gelombang internet.

Terlihat dari catatan pada halaman belakang, tampak bahwa buku ini disusun dengan mengutip banyak hal dari berbagai sumber. Diantaranya menganai pengaruh internet itu sendiri, tentang kelenturan otak yang mau tidak mau menerangkan tentang bagaimana otak itu bekerja––dengan kata lain mengulas tentang pelajaran biologi yang amat saya benci––mengulas tentang perubahan kebiasaan membaca dan lain-lain.

“Pada 1623, Francis Bacon mengamati bahwa “nyaris tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat” sebagai “alat bantu memori yang bagus” daripada “sebuah buku catatan yang biasa yang bagus dan dipelajari.” (hlm. 191)

Membaca kutipan di atas saya jadi teringat dengan ini ; “Ilmu itu buruan, dan tulisan adalah talinya. Maka ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat. Adalah kedunguan engkau memburu kijang, lalu engkau biarkan ia lepas di antara hamparan.” (Imam Syafi'i)

Seperti yang saya bilang tadi, saya paling tidak suka bagian pelajaran biologi. Ada juga beberapa penggunaan tanda koma yang menurut saya kurang tepat, seperti;
“... sebagai perangkat fisik yang tidak berubah tumbuh, dan dipotong oleh, metafora Era Industri yang ...” (hlm. 19)

“Jika berkaitan dengan anak, otak merupakan, sebagaimana telah banyak ditulis ...” -> Maksudnya merupakan apa ya? Dan lagi saya pikir koma di bagian itu lebih baik dihilangkan. (hlm. 20)

Dan saya kurang srek membaca kalimat ini, “... untuk menghasilkan peta yang baik yang akan, harapannya, memberikan pemahaman baru mengenai struktur otak.” (hlm. 22).
Menakhodai (hlm. 24), seharusnya menahkodai, dan lain – lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Review] You Are My Moon

Wander Woman

Behind Closed Doors